MAKALAH PSIKOANALITIK KONTEMPORER (Erix H. Erikson)
MAKALAH
PSIKOANALITIK KONTEMPORER (Erix H. Erikson)
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Psikologi Kepribadian
Dosen Pengampu :
Indah Fajrotus Zahro, M. Psi
Disusun Oleh:
Ahmad Sururil Asna
Khoridah Nabila
Siti Ulfa
Rahayu Fika Lestari
Nunik Setiowati
PROGAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) ATTANWIR BOJONEGORO
Oktober, 2019
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdullilah senantiasa kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkah, rahmat, hidayah dan kesehatan dari-Nya, sehingga kita bisa menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa shalawat dan salam kita kirimkan untuk baginda Nabiyullah Muhammad Saw, Nabi yang telah membawa ummatnya dari zaman jahiliah ke zaman yang terang-benderang, juga nabi yang telah diutus oleh Allah SWT kemuka bumi ini sebagai rahmatan lilalamin.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah yakni Psikologi Kepribadian. Kami berharap dalam penyusunan makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Tentunya kami sadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saran dan kritik kami perlukan dalam hal yang bersifat membangun karena tidak dipungkiri bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan dalam penyusunanya.
Bojonegoro, 23 Oktober 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Masalah 2
BAB II
PEMBAHASAN
Psikoanalitik Kontemporer
Struktur Kepribadian 3
Dinamika Kepribadian 5
Perkembangan Kepribadian 5
Aplikasi 18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan 19
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk yang misteri, demikianlah yang diungkapkan oleh Alexis Carel ketika menggambarkan keridak tuntasan pencarian hakikat manusia oleh para ahli. Banyak ikhtiar akademis yang dilakukan oleh para ahli saat ingin memapar siapa sesungguhnya dirinya. Ilmu-ilmu seperti filsafat, ekonomi, sosiologi, antropologi, juga psikologi dan beberapa ilmu lainnyaadalah ilmu yang membahas tentang dengan perspektif masing-masing.
Manusia mempunyai keperluasan asas yang sama dan perkembangan mereka bergantung kepada tindak balas terhadap keperluan tersebut. Pertumbuhan manusia berjalan sesuai prinsip epigenetik yang menyatakan bahwa kepribadian manusia berjalan menurut delapan tahap. Berkembangnya manusia dari satu tahap ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilannya atau ketidakberhasilannya dalam menempuh tahap sebelumnya.
Erix Erison adalah salah satu diantara para ahli yang melakukan ikhtiar itu, dari perspektif psikologi, ia menguraikan manusia dari sudut perkembangannya sejak dari masa 0 tahun hingga usia lanjut. Erikson beraliran psikoanalisa dan pengembang teori Freud. Kelebihan yang kita temukan dari Erikson adalah bahwa ia mengurai seluruh siklus hidup manusia, tidak seperti Freud yang hanya sampai pada masa remaja. Termasuk disini adalah bahwa Erikson memasukkan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan tahapan manusia, tidak hanya sekedar faktor libidinal sexual.
Namun disini kami akan membahas lebih lanjut ikhtiar yang dilakukan erix Erikson, agar kita mudah mempelajarinya kami akan mulai membahas dari struktur kepribadian, dinamika kepribadian, perkembangan kepribadian hingga cara mengaplikasikan teori ini.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana struktur kepribadian dalam psikoanalitik kontemporer?
Bagaimana dinamika kepribadian dalam psikoanalitik kontemporer?
Bagaimana perkembangan kepribadian dalam psikoanalitik kontemporer?
Bagaimana cara mengaplikasikan psikoanalitik kontemporer?
TUJUAN
Mengetahui struktur kepribadian dalam psikoanalitik kontemporer
Mengetahui dinamika kepribadian dalam psikoanalitik kontemporer
Mengetahui perkembangan kepribadian dalam psikoanalitik kontemporer
Mengetahui cara mengaplikasikan psikoanalitik kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
PSIKOANALITIK KONTEMPORER (Erix H. Erikson)
Struktur Kepribadian
Ego kreatif
Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada psikoanalisis freud, yakni kepercayaan dan penghargaan, otonomi dan kemauan, kerajinan dan kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta integritas. Ego semacam itu disebut ego-kreatif, dimana ego tersebut dapat menemukan pemecahan kreatif atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan.
Menurut Erikson, ego sebagian bersifat tak sadar, mengorganisir dan mensintesa pengalaman sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan diri masa yang akan dating. Dia menemukan tiga aspek ego yang saling berhubungan, yakni body ego, ego ideal, dan ego identity.
Body ego: mengacu ke pengalaman orang dengan tubuh/fisiknya sendiri. Individu cenderung akan melihat fisiknya berbeda dengan fisik tubuh orang lain.
Ego ideal: suatu gambaran terkait dengan konsep diri yang sempurna. Individu cenderung akan berimajinasi untuk memiliki konsep ego yang lebih ideal disbanding dengan orang lain.
Ego identity: gambaran yang dimiliki individu terkait dengan diri yang melakukan peran sosial pada lingkungan tertentu.
Ketiga aspek tersebut umumnya berkembang sangat cepat pada masa dewasa, namun sesungguhnya perubahan ketiga elemen itu terjadi pada semua tahap kehidupan.
Ego Otonomi Fungsional
Ego otonomi fungsional adalah ego yang berfokus pada penyesuaian ego terhadap realita. Contohnya yaitu hubungan ibu dan anak. Meskipun Erikson sependapat dengan Freud mengenai hubungan ibu dan anak mampu memengaruhi serta menjadi hal terpenting dari perkembangan kepribadian anak, tetapi Erikson tidak membatasi teori-teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Erikson menganggap bahwa proses pemberian makanan pada bayi merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan lingkungan sosialnya.
Lapar adalah manifestasi biologi, tetapi konsekuensi dari pemuasan id (oleh ibu) itu akan menimbulkan kesan bagi bayi tentang dunia luar. Dari pengalaman makannya, bayi belajar untuk mengantisipasi interaksinyadalam bentuk kepercayaan dasar (basic trust), yakni mereka memandang kontak dengan manusia sangat menyenangkan karena pada masa lalu hubungan semacam itu menimbulkan rasa aman dan menyenangkan. Sebaliknya, tanpa basic trust bayi akan mengantisipasi interaksi interpersonal dengan kecemasan, karena hubungan masa lalu dengan interpersonalnya menimbulkan frustasi dan rasa sakit.
Pengaruh Masyarakat
Pengaruh masyarakat adalah pembentuk bagian bagian terbesar ego, meskipun kapasitas yang dibawa sejak lahir oleh individu juga penting dalam perkembangan kepribadian. Erikson mengemukakan faktor yang memengaruhi kepribadian yang berbeda dengan Freud. Meskipun Freud menyatakan bahwa kepribadian dipengaruhi oleh biologikal, Erikson memandang kepribadian dipengaruhi oleh faktor sosial dan historikal.
Erikson menyatakan bahwa potensi yang dimilki individu adalah ego yang muncul bersama kelahiran dan harus ditegakkan dalam lingkungan budaya. Anak yang diasuh dalam budaya masyarakat berbeda cenderung akan membentuk kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan budaya sendiri.
Dinamika kepribadian
Feist dan Feist menyatakan bahwa perwujudan dinamika kepribadian adalah hasil interaksi antara kebutuhan biologis yang mendasar dan pengungkapannya melalui tindakan-tindakan sosial. Hal ini berarti bahwa perkembangan kehidupan individu dari bayi hingga dewasa umumnya dipengaruhi oleh hasil interaksi sosial dengan individu lainnya sehingga membuat individu menjadi matang baik secara fisik maupun secara psikologis.
Perkembangan Kepribadian
Prinsip Epigenetik
Menurut Erikson, eko berkembang melalui baerbagai tahap kehidupan mengikuti prinsip epigenetic, istiliah yang dipinjam dari Embriologi. Perkembangan Epigenetik adalah perkembangan tahap demi tahap dari organ-organ Embrio. Ujud Embrio pada mulanya berbentuk bola kecil yang berkembang dalam irama dan urutan tertentu. Kalau mata, liver atau organ lain tidak berkembang pada periode kritik (periode yang disediakan alam untuk berkembang), organ itu tidak akan pernah mencapai kemasakan yang sempurna.
Ego berkembang mengikuti prinsip epigenetic, artinya tiap bagian dari ego berkembang pada tahap perkembangan tertentu dalam rentangan waktu tertentu 9 yang disediakan oleh hereditas untuk berkembang). Tahap perkembengan yang satu terbentuk dan dikembangkan di atas perkembagan sebelumnya (tetapi tidak mengganti peerkembangan tahap sebelumnya itu). Ini analog dengan perkembangan fisik anak yang dimulai dari merangkak-duduk-berdiri-berjalan-berlari. Ketika bayi masih dalam tahap merangkak, mereka kemudian mengembangkan potensi untuk berjalan, berlari, meloncat, namun sesudah mereka mengusai kemampuan untuk meloncat, mereka tetap bisa merangkak dan berjalan. Erikson menjelaskan prinsip epigenetiknya sebagai berikut: semuanya yang berkembang mempunyai rencana dasar, dari perencanaan ini muncul bagian-bagian, masing-masing bagian mempunyai waktu khusus untuk menjadi pusat perkembangan, sampai semua bagian muncul untuk membentuk keseluruhan fungsi.
Aspek psikosesual
Teori perkembangan dari erikson melengkapi dan menyempurnakan teori Freud dalam dua hal, pertama melengkapi tahapan perkembangan menjadi delapan tahap yakni, tahap bayi (infancy), anak (early childhood), bermain (play age), sekolah (school age) remaja (adolesence), dewasa awal (young adulthood), dewasa (adulthood), dan tua (mature). Freud hanya membahas 4 tahapan, dari bayi sampai dengan usia sekolah. Kedua, memakai analisis konflik untuk mendiskripsi perkembangan kepribadian. Perkembangan insting seksual (seksual infantil) dipakai freud untuk menjelaskan bahwa trauma (seksual) bisa dialami manusia pada usia dini dan bagaimana pengaruhnya pada masa yang akan datang. Erikson mengakui adanya aspek psikosesual dalam perkembangan, yang menurutnya bisa berkembang positif (aktualisasi seksual yang diterima) atau negative ( aktualisasi ekspresi seksual yang tidak dikehendaki). Dia memutuskan perhatiannya kepada mendiskripsi bagaimana kapasitas kemausiaan mengatasi aspek psikosesual itu; bagaimana mengembangkan insting seksual menjadi positif.
Konflik Psikososial
Teori Erikson sendiri memakai dasar perkembangan social; pada setiap tahap perkembangan muncul konflik social yang khas, yang seperti insting seksual, harus dikembangkan ke arah positif. Teori perkembangan dari Erikson kemudian dinamakan Teori Perkembangan Psikososial. Berikut enam pokok fikiran yang dipakai untuk memahami teori perkembangan psikososial Erikson:
Prinsip epigenetik: perkembangan kepribadian mengikuti prinsip epigenetik.
Interaksi bertentangan: di setiap tahap ada konflik psikososial, antara elemen sintonik (syntonic=harmonious) dan distonik (dystonic=disruptive). Kedua elemen itu dibutuhkan oleh kepribadian. Tugas perkembangan kepribadian bukan menghilanghkan distonik, tetapi membuat keseimbangan antara keduanya condong kearah sintonik. Hal itu cukup membantu untuk menenangkan konflik semacam yang timbul belakangan. Koflik antara positif dan negatif itu tetap ada sepanjang hayat, justru konflik itu yang membuat kepribadian menjadi hidup.
Kekuatan ego: konflik psikososial di setiap tahap hasilnya akan mempengaruhi atau mengembangkan ego. Dari sisi jenis sifat yang dikembangkan, kemenangan aspek sintonik akan memberi ego sifat yang baik, disebut virtue, dari sisi energi, virtue akan meningkatkan kuantitas ego atau kekuatan ego untuk mengatasi konflik sejenis, sehingga virtue disebut juga sebagai kekuatan dasar (basic strength).
Aspek somatic: walaupun Erikson membagi tahapan berdasarkan perkembangan psikososial, dia tidak melupakan aspek somatis/biologikal dari perkembangan manusia.
Konflik dan peristiwa pancaragam (multiplicity of conflict and event): peristiwa pada awal perkembangan tidak berdampak langsung pada perkembangan kepribadian selanjutnya. Identiras ego dibentuk oleh konflik dan peristiwa masa lalu, kini, dan masa yang akan datang Neurosis tidak disebabkan oleh peristiwa pada tahap oral, tetapi penyebabnya pancaragam, meliputi peristiwa masa lalu, kini, dan masa yang akan datang.
Di setiap tahap perkembangan, khususnya dari masa adolesen dan sesudahnya, perkembangan kepribadian ditandai oleh krisis identitas (identity crisis), yang dinamakan Erikson “titik balik, periode peningkatan bahaya dan memuncaknya potensi.”selama masa krisis, banyak terjadi perubahan penting identitas ego, bisa positif atau negatif. Berbeda dengan pemakaian umum, krisis identitas itu bukan peristiwa bencana yang mengerikan, tetapi lebih sebagai peluang untuk menjadi lebih bisa meneyesuaikan diri atau menjadi salah suai.
Ritualisasi versus Ritualisme
Teori Erikson dinamakan teori perkembangan social, Karena teori ini menekankan pentingnya interaksi dalam pengembangan kepribadian. Pada setiap tahap perkembangan orang berinteraksi dengan pola-pola tetentu, disebut ritualisasi (ritualization). Dengan adanya ritualisasi ini orang menjadi terdorong untuk berkomunikasi sekaligus mengembangkan kepribadiannya. Pengertian ritualisasi dapat disingkat sebagai berikut:
Ritualisasi adalah pola-kultural berinteraksi dengan orang dan obyek lainnya, yang membuat interaksi menjadi menyenangkan (playful).
Ritualisasi adalah kesepakatan saling hubungan antara dua orang (atau lebih) yang terus menerus berlangsung dan mempunyai nilai adaptif (dapat dipakai dalam berbagai kesempatan).
Ritualisasi membuat individu dapat bertingkah laku secara efektif dan tidak canggung di masyarakat.
Ritualisasi memasukkan orang kedalam masyarakat dengan mengajarkan kepada mereka memuaskan keinginan memakai cara-cara yang dapat diterima budaya.
Seperti pada konflik psikososial, pola hubungan social bisa positif menjadi ritualisasi, sebaliknya bisa negative menjadi ritualism. Ketika perkembangan maju ke tahap berikutnya, akan muncul ritualisasi baru dan ritualism baru. Ritualisasi dan ritualism yang lama (dari perkembangan yang terdahulu), tidak hilang. Keduanya bersama-sama dengan kekuatan dasar yang diperoleh dari konflik psikososial akan menjadi bagian dari keyakinan, latar belakang, dan pola tingkah laku yang tidak mudah berubah pada masa yang akan datang.
Ritualisme adalah pola hubungan yang tidak menyenangkan kedua belah pihak, karena salah satu menduduki posisi yang lebih superior, dan yang lain inferior. Ciri-ciri ritualisme adalah sebagai berikut:
Perhatian orang dalam ritualisme terfokus pada dirinya sendiri. Orang menjadi lebih peduli dengan performansi dirinya daripada mempedulikan hubungannya dengan orang lain atau dengan apa yang mereka lakukan.
Sifatnya tidak menyenangkan, tetapi compulsive (terpaksa dilakukan). Ritualisme juga terpola secara kultural, menjadi tingkah laku yang menyimpang, abnormal, dan aneh.
Ritualisme sering melibatkan orang lain, dalam kedudukan untuk dipungkiri keberadaanya. Orang yang di dominasi oleh ritualisme tidak dapat berinteraksi dengan orang lain dalam cara saling mendapat kepuasan.
Fase Bayi (0-1 tahun)
Paralel dengan Fase Oral daei freud, namun bagi Erikson kegiatan bayi tidak terikat dengan mulut semata; bayi adalah saat untuk memasukkan (incorporation), bukan hanya melalui mulut (menelan) tetapi juga semua indera.
Aspek Psikoseksual: Sensori Oral
Tahap sensori di tandai oleh dua jenis inkorporasi: mendapat dan menerima. Mendapat (receiving) adalah memperoleh sesuatu tanpa ada yang memberi, bernafas atau melihat obyek berarti menerima stimulus tanpa kehadiran orang lain. Menerima (accepting) adalah memperoleh sesuatu melalui konteks social, bayi menerima sesuatu dari orang lain. Ini menjadi perlajaran hubungan antar pribadi, belajar memberi d menerima.
Krisis Psikoseksual: kepercayaan versus kecurigaan
Tahun pertama kehidupannya, bayi memakai sebagian besar waktunya untuk makan, eliminasi (buang kotoran) dan tidur. Ketika ia menyadari ibu akan memberi makan/minum secara teratur, mereka belajar dan memperoleh kualitas ego atau identitas ego yang pertama, perasaan kepercayaan dasar (basic trust). Perlakuan yang lembut ayunan dan irama ninabobok, dan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhannya, membuat bayi menghadapi tugas keidupan dengan santai dan tenang, kepercayaan dasar berkembang singkat kata, jika pola untuk inkorporasi sesuai dengan perlakuan lingkungan kulturalnya, anak akan mengembangkan kepercayaan dasar (sintonik). Sebaliknya kalau tidak ada kesesuaian antara kebutuhan sensori-oral dengan lingkungan, mereka akan mengembangkan ketidak percayaan dasar (distonik).
Virtue: Harapan
Konflik antara kepercayaan dan ketidak percayaan memunculkan harapan (hope). Tanpa berhubungan bertentangan antara percaya dan tidak percaya, orang tidak dapat mengembangkan virtue harapan. Bayi harus mengalami lapar, haus, nyeri, ketidaknyamanan yang lain, dan kemudian mengalami perbaikan dan hilangnya kondisi yang tidak menyenangkan itu. Dari peristiwa itu bayi akan belajar mengaharap bahwa hal yang meyakitkan ke depan bisa berubah menjadi menyenangkan. Kebaikan dari hope adalah menarik diri (withdrawal), yang disebut Erikson sebagai sumber patologis dari bayi. Bayi dengan harapan yang kecil, akan menarik diri dari dunia luar dan mulai mengalami gangguan pssikologis serius.
Ritualisasi-ritualisme: keramat Versus Pemujaan
Bayi menangkap hubungannya dengan ibu sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Suara ibu, belaian ibu, air susu ibu, semuanya ibarat dewi penolong yang membuatnya menjadi puas dan aman. Pola interaksi numinous membuat bayi sangat menghargai ibunya, dan mudah diatur sehingga dapat mendukung tugas perkembangannya. Numinous akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada acaman.
Fase Anak-anak (1-3 tahun)
Tahap ini paralel dengan fase anak dari freud. Menurut freud anak mula-mula memperoleh kepuasan dengan dengan menghancurkan atau membuang/ menghilangkan obyek (awal sifat sadistik), dan kemudian anak memeproleh kepuasan dari defakasi. Teori Erikson lebih luas; anak memperoleh kepuasan bukan dari keberhasilan mengotrol anus-anus saja, etapi juga dari keberhasilan mengontrol fungsi tubuh yang lain, seperti urinasi, berjalan, melempar, memegang, dan sebagainya. Kesemuanya itu dikembangkan melaui hubungan interpersonal, sehingga anak juga mengalami ragu ragu dan malu, beljar bahwa usahanya untuk menjadi otonom bisa berhasil bisa juga gagal.
Aspek Psikoseksual: Otot Anal-uretal
Pada tahun kedua, penyesuaian psikoseksual terpusat pada. Anal-uteral (Anal-Urethral Muscural); anak belajar mengntrol tubuhnya, khususnya yang berhubugan dengan kebersihan. Namun menurut Erikson, masa anak di samping toilet training, juga masa belajar berjalan, lari, memeluk orang tuanya, dan memegang mainan atau obyek lainnya. Aktivitas tahap ini mengandung kontradiksi, antara menahan kotorannnya atau melakukan defakasi secara sengaja, memeluk ibunya atau menolak dan menjauhkan ibu darinya, memegang erat obyek atau membuang dengan kasar. Pada tahap ini anak belajar untuk menjadi cenderug keras kepala dan rela/lembut, menjadi implusif dan komplusif, menjadi senang bekerjasama dan benci.
Krisis Psikososial: Otonomi versus Malu dan Ragu
Pada tahap ini anak dihadapkan dengan budaya yang menghambat ekspresi diri. Anak brlajar mengenal hak dan kewajiban serta pembatasan-pembatasan tingkah laku, belajar mengontrol diri sendiri dan menerima kontrol dari orang lain.berangsur-angsur keberhasilan mengontrol tubuh menimbulkan perasaan otonomi-bangga, dan kegagalan menimbulkan rasa malu-ragu. Perasaan otonomi dan malu ini di pakai orang tua untuk mendidik anak.
Virtue: kemauan
Hasil mengatasi krisis otonomi versus malu-ragu adalah kekuatan dasar kemauan. Ini adalah permulaan dari kebebasan kemauan dan kekuatan kemauan (benar-benar hanya permulaan), yang menjadi dasar dari ujud virtue kemauan di dalam egonya. Kemasakan kekuatan kemauan dan kebebasan kemauan yang terukur baru di peroleh pada perkembangan-perkembngan berikutnya. Siapa saja yang mrmperhatikan anak berusia dua tahunan akan tahu bagaimana kemauan itu timbul.
Dasar-dasar kemauan dapat muncul hanya kalau anak diizinkan melatih mengontrol sendiri otot-ototnya (otot anal, uretal, dan otot lainya).
Ritualisasi-ritualisme: Bijaksana Versus Legaisme
Pada tahap ini pola komunikasi mengembangkan penilaian benar atau salah dari tingkah laku diri dan orang lain, di sebut bijaksana (judicious). Peilaian yang adil, tidak memihak, tidak mementingkan diri sendiri dan orang lain, dan lebih mementingkan tanggug jawab moral, dipakai untuk membsngun interaksi yang memuaskan fihak yang terkait dengan interaksi itu. Judicious memperoleh kepuasan dari interaksi yang moralistic.
Usia Bermain (3-6 Tahun)
Tahap ini sama dengan periode Falis dan Freud, namun isi kegiatan atau proses perkembangan didalamnya antara Frerud dengan Erikson berbeda. Freud memakai tema sentral odipus komplikasi, sedang menurut Erikson, ada banyak perkembangan penting pada fase bermain ini, yakni; identifikasi dengan orang tua (odipus kompleks), mengembangnkan gerakan tubuh, keterampilan bahasa, rasa ingin tahu, imajnasi, dan kemampuan menetukan tujuan.
Aspek Psikoseksual: Perkelaminan-Gerakan
Erikson mengakui gejala odipus muncul sebagai dampak dari fase psikoseksual genital-locomotor, namun odipus itu diberi makna yang berbeda. Menurutnya, stuasi odipus adalah prototip dari kekuatan yang abadi dari kebahagiaan manusia. Odipus kompleks adalah drama yng dimainkan dalam imajinaspi anak, yang tujuan utamanya adalah, memahami berbagai konsep dasar seperti reproduksi, pertumbuhan, masa depan, dan kemtian. Bentuk odipus tidak selalu sama.
Konflik Psikososial: Inisiatif versus Perasaan Berdosa
Ketika anak bisa bergerak berkeliling dengan mudah dan bersemangat, dan minat seksualnya muncul, mereka memakai berbagai cara untuk memahami lingkungannya. Inisiatif dipakainya utuk memilih dan mengejar berbagai tujuan, seperti kaqwin dengan ibu/ayah, atau meninggalkan rumah, juga untuk menekan atau menunda suatu tujuan. Tujuan yang harus di hambat akan menimbulkan rasa berdosa (gulit).
Kekangan (inhibition) adalah lawan dari tujuan (purpose), menjadi sumber pastologikdari usia bermain.
Virtue: Tujuan-sengaja
Konflik antara inisiatif dengan berdosa menghasilkan kekuatan dasar (virtue) puspose. Anak kini bermain dengan tujuan, terutama permainan kompetisi dan mengajar kemenangan.
Ritualisasi-ritualisme: Dramatik versus Impersonasi
Tahap ini dipenuhi den fantasi anak, menjadi ayah, ibu, menjadi karakter baik untuk mengalahkan penjhat. Mereka berinteraksi dengan memakai fantasinya, disebut dramtik (dramatic). Daramtik mendorong orang orang untuk berinteraksi sesuai dengan peran yang diharapkan masyarakat tanpa menimbulkan perasaan berdosa dalam dirinya sendiri.kalau permainan peran itu menjadi kompulsi, orang tidak mejadi dirinya sendiri tetapi hanya memainkan peran-peran sesuai dengan fantasinya akan timbul interaksi yang menyimpang disebut impersonasi (impersonalisation). Keterlibatan ego-sadar dalam interaksi cenderung kurang, diganti oleh fantasi-taksadar tentang dirinya.
Usia Sekolah (6-12 tahun)
Pada usia ini dunia sosial anak meluas keluar dari dunia keluarga, anak bergaul dengan teman sebaya, guru, dan orang dewasa lainnya. Melalui interaksi sosial yang terjadi, sang anak mulai bisa mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilam dan kemampuan mereka. Anak yang didukung dan melalui pengarahan orang tua serta guru akan membangun keinginan berkompetis yang juga berpengaruh pada kepercayaan dirinya. Pada usia ini, keingintahuannya menjadi sangat kuat dan hal itu berkaitan dengan perjuangan dasar menjadi berkemampuan (competence).
Namun, bila sang anak tidak mendapatkan dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan memunculkan perasaan ragu akan ketrampilan yang dimilikinya. Masa pertengahan dan akhir kanak-kanak akan membentuk dan mengarahkan energi mereka menuju penguasan pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Dalam tahapan ini, guru mengambil peranan yang penting karena berkaitan dengan pengetahuan.
Aspek Psikoseksual: Terpendam (laten)
Erikson setuju dengam Freud bahwa usia sekolah adalah tahap latency. Memendam insting seksual sangat penting karena akan membuat anak dapat memakai energinya untuk mempelajari teknologi dari budayanya, dan mempelajari strategi interaksi sosialnya. Ketika anak mempelajari akan dua hal itu, mereka mulai membentuk gambaran tentang diri sendiri, sebagai berkemampuan atau tidak berkemampuan (competence-uncompetence). Gambaran ini menjadi asal-muasal identitas ego perasaan “aku” atau “keakuan” yang akan berkembang masak pada usia adolesen.
Krisis Psikososial: Ketekunan vs inferiorita (rasa rendah diri)
Pada tahap laten perkembangan seksual terpendam dan perkembangan sosial menjadi luar biasa. Krisis psikososial pada tahap ini adalah antara ketekunan dan rasa rendah diri.
Jika anak mengerjakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, berarti mereka mengembangkan perasaan ketekunan, tetapi jika mereka merasa bahwa tugasnya tersebut tidak bisa untuk mencapai tujuan, mereka akan mendapat perasaan rendah diri.
Virtue: Kompetensi
Dari konflik antara ketekunan dengan inferiorita, anak mengembangkan kekuatan dasar: kemampuan (competency). Virtue itu diperoleh melalui latihan kecakapan gerak dan kecerdasan untuk menyelesaikan tugas. Anak membutuhkan perintah dan metode, tetapi yang lebih penting adalah pemanfaatan kecerdasan dan pemanfatan energi fisik yang berlimpah untuk melaksanakan kegiatan sekolah, tugas di rumah, seni, olahraga ketrampilan, menjamin tidak berkembangnya perasaan kurang mampu disbanding orang lain.
Kalau perjuangan tahap usia sekolah cenderung memenangkan inferiority atau sebaliknya, ketekunan menang secara berlebihan (tanpa inferioriti), anak menjadi mudah menyerah dan regresi ke tahap perkembangan sebelumnya. Mereka mungkin menjadi sibuk dengan fantasi genital anak-anak dan odipus, dan menghabiskan waktunya untuk bermain yang tidak produktif. Regresi semacam ini disebut inersia (inertia) atau kemalasan yang sangat. Inersia adalah kebalikan dari kompetensi dan menjadi sumber patologi pada usia sekolah.
Ritualisasi-ritualisme: Formal versus Formalisme
Lingkungan sosial yang luas memaksa anak untuk mengembangkan teknik atau metode bagaimana berinteraksi secara efektif. Di sekolah, anak juga banyak belajar tentang sistem, aturan, metode, yang membuat suatu pekerjaan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Itulah ritualisasi formal; interaksi yang mementingkan metode atau cara yang tepat, untuk memperoleh hasil yang sempurna.
Adolesen (12-20 tahun)
Tahap ini merupakan tahap yang paling penting diantara tahap perkembangan lainnya, karena pada akhir tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego yang cukup baik. Walaupun pencarian identitas ego itu tidak dimulai dan tidak berakhir pada usia remaja (pencarian identitas ego ada sejak tahap bayi sampai tahap tua).
Krisis antara identitas dengan kekacauan identitas mencapai puncaknya pada tahap adolesen ini. Dari krisis itu akan muncul kesetiaan sebagai virtue dari adolesen.
Aspek Psikoseksual: Pubertas
Perkembangan psikoseksual pubertas (puberty), adalah tahap kemasakan seksual. Bagi Erikson, pubertas penting bukan karena kemasakan seksual, tetapi karena pubertas memacu harapan peran dewasa pada masa yang akan dating. Peran yang sangat penting secara sosial itu hanya dapat dipenuhi melalui perjuangan mencapai identitas ego pada tahap pubertas.
Krisis Psikoseksual: Identitas dan Kekacauan Identitas
Pencarian identitas ego mencapai puncaknyapada fase adolesen, ketika remaja berjuang untuk menemukan siapa dirinya. Menurut Erikson identitas muncul dari dua sumber: pertama, penegasan atau penghapusan identifikasi pada masa kanak-kanak, dan kedua sejarah yang berkaitan dengan kesediaan menerima standar tertentu. Remaja sering menolak standar orang yang lebih tua dan memilih nilai-nilai kelompok (gang).
Identitas bisa positif bisa negatif. Identitas positif adalah keputusan mengenai akan menjadi apa mereka dan apa yang mereka yakini. Kebalikannya, identitas negatif adalah apa yang mereka tidak ingin menjadi seperti itu dan apa yang mereka tolak untuk mempercayainya. Seiring adolesen harus menolak nilai-nilai orang tua tetapi juga tidak mengakui nilai-nilai kelompok sebaya, suatu dilema yang akan memperkuat kekacauan identitas.
Kekacauan identitas adalah sindrom masalah-masalah yang meliputi, terbaginya gambaran diri, ketidakmampuan membina persahabatan yang akrab, kurang memahami pentingnya waktu, tidak bisa konsentrasi pada tugas yang memerlukan hal itu, dan menolak standar keluarga atau standar masyarakat.
Keseimbangan antara identitas dan kekacauan identitas yang cenderung positif ke identitas, akan menghasilkan:
Kesetiaan terhadap prinsip idiologi tertentu
Kemampuan untuk memutuskan secara bebas apa yang akan dilakukan
Kepercayaan kepada teman sebaya dan orang dewasa yang member nasihat mengenai tujuan dan cita-cita
Pilihan pekerjaan
Virtue: kesetiaan
Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas pada tahap adolesen adalah kesetiaan (fidelity) yaitu setia dalam beberapa pandangan idiologi atau visi masa depan.
Sisi patologis dari kesetiaan adalah penolakan (repudiation), atau ketidakmampuan menggabungkanberbagai gambaran diri dan nilai-nilai ke dalam identitas, menjadi bentuk malu-malu (diffidence) atau penyimpangan (deviance). Difiden adalah keadaan ekstrim tidak percaya diri yang diekspresikan sebagai malu-malu untuk mengekspresikanm diri. Sebaliknya, devian adalah memberontak kepada otoritas secara terbuka.
Ritualisasi-ritualisme: ediologi vs totalisme
Ritualisasi ediologi adalah gabungan dari ritualisasi-ritualisasi tahap sebelumnya menjadi keyakinan atai ide-ide. Ritualisasi ediologi menjadi awal dari kesiapan diri mengadopsi etika masyarakat, memilih gaya hidup yang sesuai dengan dirinya dan menolak ediologi yang tidak dikehendaki atau ediologi asing.
Dewasa Awal (20-30 tahun)
Pengalaman adolesen dalam mencari identitas dibutuhkan oleh dewasa-awal. Selama tahap adolesen orang harus memperoleh pemahaman yang mantap tentang diri mereka sendiri, untuk dapat menyatukan identitas diri mereka dengan identitas orang lain, tugas yang harus dikerjakan pada tahap dewasa awal. Hanya sesudah orang mengembangkan perasaan yang mantap siapa dirinya dan apa yang diinginkannya maka mereka dapat mengembangkan tingkat kebaikan cinta (love), kesetiaan timbale balik yang mengalahkan perbedaan yang tak terelakan antara dua orang yang berbeda kepribadian, pengalaman, dan perannya.
Aspek Psikoseksual: Perkelaminan
Perkembanganm psikoseksual tahap ini disebut perkelaminan (genitality). Mulai tahap ini sampai tahap tua, deskripsi perkembangan psikoseksual murni konsep Erikson, karena teori Freud hanya menjelaskan perkembangan sampai adolesen. Aktivitas seksual selama tahap adolesen adalah ekspresi pencarian identitas yang biasanya dipuaskan sendiri. Perkelaminan sebenarnya baru dikembangkan pada tahap dewasa awal, ditandai dengan saling percaya dan berbagi kepuasan seksual secara permanen dengan orang yang dicintai.
Krisis psikososial: Keakraban vs Isolasi
Keakraban (intimacy) adalah kemampuan untuk menyatukan identitas diri dengan identitas oirang lain tanpa ketakutan kehilangan identitas itu.
Isolasi adalah ketidakmampuan untuk bekerja sama dengan orang lain melalui berbagai intimasi yang sebenarnya.
Virtue: cinta
Cinta adalah kesetiaan yang masak sebagai dampak dari perbedaan dasar antara pria dan wanita.
Kebalikan dari cinta adalah kesendirian (exclusivity), sumber patologi dewasa awal.
Ritualisasi-ritualisme: Afiliasi vs elitism
Refleksi dari kenyataan adanya cinta, mempertahankan persahabatan, ikatan kerja. Afiliasi mendorong orang untuk berbagi dengan yang lain. Misalnya, perkawinan, libur bersama, dan permainan dalam satu tim.
Elitism memandang orang luar dengan penuh curiga, merendahkan.
Dewasa (30-36 tahun)
Tahap dewasa adalah waktu menempatkan diri di masyarakat dan ikut bertanggung jawab terhadap apapun yang dihasilkan dari masyarakat.
Aspek Psikoseksual: Prokreativita
Menurut Erikson, manusia mempunyai insting untuk mempertahankan jenisnya. Insting itu disebut prokreativita, yang mencakup kontak seksual dengan partner intimasi, dan tanggung jawab untuk merawat anak keturunan hasil kontak sek itu.
Krisis Psikososial: Generativita (bangkit) vs Stagnasi (berhenti)
Generativita yaitu penurunan kehidupan baru serta produk dan ide baru.
Antithesis dari generativita adalah stagnasi.
Virtue: kepedulian
Kepedulian (care) adalah perluasan komitmen untuk merawat orang atau merawat produk dan ide yang membutuhkan perhatian.
Ritualisasi-ritualisme: generasional vs otoritisme
Ritualisasi generasional merupakan interaksi antara orang dewasa dengan generasi penerusnya. Misalnya, sebagai orang tua, guru, anggota masyarakat yang meneruskan niali-nilai etik/budaya.
Ritualisasi otoritisme mengandung pemaksaan.
Usia Tua (>65 tahun)
Menjadi tua bukan berarti menjadi tidak generative. Sudah tidak menghasilkan keturunan, tetapi masih produktif dan kreatif dalam hal lain, misalnya memberi perhatian/merawat generasi penerus cucu dan remaja pada umumnya. Usia tua bisa menjadi waktu yang orang senang bermain dan menyenangkan, tetapi juga bisa menjadi orang depresi dan putus asa.
a. Aspek psikososial: generalisasi sensualitas
memperoleh kenikmatan dari berbagai sensasi fisik, penglihatan, pendengaran, kecapan, bau, pelukan, dan bisa juga stimulasi genital.
b. Krisis psikososial: integritas vs putus asa
Integritas adalah perasaan menyatu dan utuh, kemampuan untuk menyatukan perasaan keakuan dan mengurangi kekuatan fisik dan intelektual.
Integritas ego sering sukar dipertahankan ketika orang telah kehilangan pasangan atau sahabat (meninggal).
Putus asa berarti tanpa harapan.
c. Virtue: kebijaksanaan (wisdom)
Orang dengan kebijaksanaan yang matang, tetap mempertahankan integritasnya ketika kemampuan fisik dan mentalnya menurun.
Antitesis dari kebijaksanaan adalah penghinaan (disdain) merupakan reaksi terhadap perasaan terkalahkan, bingung dan tak tertolong yang semakin tinggi.
d. Ritualisasi-ritualisme: integral vs sapentisme
Integral merupakan ungkapan kebijaksanaan dan pemahaman makna kehidupan
Sapentisme merupakan bergaya bijaksana, memberi petuah-petuah dogmatis untuk menyembunyikan diri bahwa dirinya tidak memiliki sifat bijak, mungkin juga menyembunyikan perasaan putus asa.
Aplikasi
Teori Erikson terfokus pada perkembangan sosial, sehingga aplikasinya terutama dibidang pendidikan sosial, khususnya pada usia anak-anak dan remaja. Memperhatikan teori Erikson akan berdampak kepada perlakuan orang dewasa kepada anak lebih sesuai dengan kebutuhan usia anak-anak itu.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Erikson member jiwa baru ke dalam teori psikoanalisis, dengan memberi perhatian yang lebih kepada ego dari pada id dan super ego. Dia masih tetap menghargai teori Freud, namun mengembangkan ide-ide khususnya dalam hubungannya dengan tahap perkembangan dan peran sosial terhadap pembentukan ego.
Ego berkembang melalui respon terhadap kekuatan dalam dan kekuatan lingkungan sosial. Ego bersifat adaptif dan kreatif, berjuang aktif (otonomi) membantu diri menangani dunianya. Erikson masih mengakui adanya kualitas dan inisiatif sebagai bentuk dasar pada tahap awal, namun hal itu hanya bisa berkembang dan masak melalui pengalaman sosial dan lingkungan.
Menurutnya ego memiliki sifat adaptif, kreatif, dan otonom. Dia menganggap lingkungan bukan semata-mata menghambat dan menghukum (Freud), tetapi juga mendorong dan membantu individu. Ego menjadi mampu terkadang dengan sedikit bantuan dari terapis menangani masalah secara efektif.
SARAN
Sebagai manusia makhluk sosial, kita sangat butuh bantuan dan juga keterkaitan antara orang lain, maka jadilah manusia yang mampu memberi manfaat dan mampu menjadi pengaruh besar dalam peradaban, makalah ini disusun dengan penuh hati-hati dan teliti, namun kami masih menyadari masih banyak kekurangan dan untuk kebaikan silahkan saran dan tanggapannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2016. Psikologi Kepribadian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang
Lestari, Mutiara Anggita, Erik H. Erikson-Post Freudian Theory, http://scdc.binus.ac.id/himpsiko/2017/12/1086/, pada tanggal 21 oktober 2019
Silaban, Fernanado Firman, 8 Tahap Yang Membentuk Kepribadian Manusia Menurut Ahi, http://m.liputan6.com/lifestyle/read/2547389/8-tahap-yang-membentuk-kepribadian-manusia-menurut-ahli, pada tanggal 23 oktober 2019
Sip 👍👍
BalasHapus